Senin, Desember 17, 2007

RAHASIA KONDOM

MEMPELAI ‘KAN JUGA MANUSIA
Oleh: Maretha. MH


I. Tukon Kelamin
Menurut ilmu ekonomi, pasar adalah bertemunya penjual dan pembeli untuk mengadakan suatu transaksi. Tak harus mempedulikan di mana medannya. Sama juga dengan “Pasar Malam Aku dan Dia” di dalamnya juga terdapat tiga kali transaksi yang wajib untuk dilakukan. Soalnya kalau tidak bisa dipenjara. Transaksi yang tak nyata tapi ada, seperti hantu dalam kehidupan kita sehari-hari.
Sengaja aku (calon isteri) membeberkan dan mengulas tradisi perkawinan Jawa, yang sebentar lagi aku alami juga, dengan harapan agar dibaca dan – siapa tahu – bisa dijadikan sebagai referensi bagi dua ribu orang (calon) tamu undangan. Tukon Kelamin adalah penggabungan dari kata “tukon” yang mengandung arti jual-beli (transaksi) dan “kelamin” sebagai simbol jender “bibit-bobot-bebet” dalam kehidupan sosial kita.
Memasuki tahapan pertama, transaksi yang harus kita lakukan adalah transaksi antara pihak Temanten Laki–laki dengan pihak Temanten Perempuan. Transaksi antara kedua pihak temanten itu disebut tukon (jual beli).
Di Jawa, khususnya Jawa Tengah, yang budaya ketimurannya kental dengan sopan-santun, unggah–ungguh, dan tata krama masih selalu menjunjung tinggi budaya tukon. Untuk urusan transaksional itu pun masih ewuh-pakewuh, khususnya dari pihak orang tua temanten perempuan. Mereka masih sungkan untuk mengatakan berapa jumlah tukon yang harus diserahkan pihak temanten laki–laki. Pada akhirnya hanya bisa menerima berapapun jumlah yang akan diserahkan orang tua temanten laki-laki, walau terkadang masih nggrundel di belakangnya jika tukon yang diberikan terlalu sedikit.
Dan akan merasa bungah (sampai-sampai seluruh warga Kelurahan tahu!) apabila tukon yang diberikan jumlahnya menakjubkan alias buanyak. Pihak orang tua temanten laki-laki juga akan membusungkan dada, angkat kepala tinggi-tinggi, karena bisa memberi tukon dengan jumlah tak terhitung.
Adapun di daerah lain, misalnya di Jawa Barat, juga marak adanya transaksi antara pihak temanten laki-laki dengan temanten perempuan, hanya sistematikanya yang berbeda. Di Jawa Tengah masih ada ewuh-pakewuh (malu-malu kucing), sedangkan di Jawa Barat dalam transaksi tukon itu terjadi nyang–nyangan (tawar-menawar) secara terang-terangan antara pihak temanten laki-laki dengan pihak temanten wanita. Transaksi yang terjadi lebih seru. Bila harga cocok, terjadilah kesepakatan. Kalo harga tak cocok maka bisa kembali ke rumah masing-masing, tinggal pilih berdoa atau masuk penjara.
Terkadang kebanyakan orang tua beranggapan, bahwa perkawinan harus diawali dan dinilai dari pembahasan masalah bibit-bobot-bebet yang memiliki arti garis keturunan, status sosial dan kualitas diri termasuk kekayaan kedua calon mempelai. Pekerjaan menjadi syarat yang mutlak harus dipenuhi sebelum pernikahan. Sebelum mempunyai pekerjan tetap belum boleh menikah. Maksud dengan pekerjaan tetap itu yang bagaimana? Mungkin sebuah pekerjaan yang menghasilkan pendapatan tetap, rumah tetap, mobil tetap, dan isteri kedua tetap. Itu baru namanya jagoan. Apakah pegawai negeri atau mafia pemerintahan juga sudah bisa dianggap mempunyai pekerjaan tetap? Tetap selingkuh dengan atasannya, tetap bolos kerja dan jalan-jalan di mall, tetap korupsi, dan tetap membohongi rakyat kecil seperti kita. Toh kita sebagai mempelai juga manusia. Juga mempunyai ketetapan seperti mereka. Tetap saling mencintai, tetap saling mendukung, tetap bertanggung jawab, dan tetap bisa meraih masa depan. Bukan hanya mereka yang bisa makan dan mencukupi kebutuhan hidupnya dengan tetap.
Menurut cerita ayahku, “Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk ciptaan lainNya. Manusia diberi akal dan pikiran, maka hanya manusia bodohlah yang telah diberikan kesempurnaan berupa akal pikiran, cipta, rasa, dan karsa tidak bisa mempergunakan itu semua dengan baik!”
Kini zaman sudah sangat modern. Konon, demokrasi HAM, kesetaraan jender dan humanisme telah menjadi tata nilai baru. Anehnya – ketika masyarakat semakin cerdas – kalkulasi matematis yang bermuara pada nilai ekonomi, status sosial dan harga diri justru mengunggulkan kriteria bibit-bobot-bebet. Persoalan diskriminasi – secara individu maupun sosial – penghormatan hak dan kemungkinan hadirnya peluang meraih masa depan lebih baik acapkali diabaikan. Padahal, jika kriteria tersebut diterapkan utuh dan berkesinambungan, yang terjadi adalah munculnya kompartemen-kompartemen kelas sosial yang terkotak-kotak. Si miskin hanya boleh menikah dengan si miskin, si kaya dengan si kaya, si bodoh dengan si bodoh, si cerdas menikah dengan si cerdas, dan sang sarjana pun harus menikah dengan seorang sarjana. Sungguhlah kasihan.
Jika hal itu terus berlangsung, dapat dipastikan akan melahirkan kecemburuan dan kesenjangan sosial yang menjurus pada pertikaian, baik secara fisik maupun ideologi. Banyak kasus naik ke pelaminan dengan keadaan perut buncit atau bekas aborsi dengan cerminan kondisi sebagai pemberontakan dengan judul memperjuangkan cinta. Tentunya akan sangat merugikan banyak pihak dan memunculkan berbagai macam kecaman dari pihak-pihak yang berlindung di bawah ketiak moral-agama dan tata-krama. Itu semua hasil dari peperangan antara pejuang cinta dan pejuang harta. Transaksi antara kedua temanten tersebut seolah-olah sebagai transaksi kelamin dimana temanten wanita bisa diajak pergi tidur temanten laki-laki setelah ada transaksi secara resmi kedua keluarga. Supaya semua pihak puas dan bangga. Juga berharap mendapat penghargaan yang sah oleh para tetangga. ”Bapak-Ibu ini SAH…?” Maka semua akan berteriak dengan semangat empat limanya: “SAHHH…!!!”

II. Pleasure Tamu Undangan
Kedua adalah transaksi antara yang punya hajat dan tamu undangan. Sang punya hajat tentunya akan memberikan suguhan hiburan dan hidangan demi untuk memuaskan tamu undangan yang hadir. Dengan kapasitas yang sangat mewah dionok-onokke (diadakan dengan terpaksa). Tamu undangan pun semestinya tahu diri, untuk menghadiri sebuah hajatan harus nyumbang dan ngonokke. Akan tetapi pada perkembangannya ada karakter tamu yang lebih anarkis daripada tahu diri. Sudah tahu menunya seharga dua puluh ribu nyumbangnya lima ribu (bercanda lo.., maaf). Transaksi antara yang punya hajat dan tamu undangan memang sangat sensitif. Dari ribuan orang yang datang semuanya ingin berperan sebagai infotaintment. Menghadirkan berita-berita hangat, memburu kesaksian, bercerita, meneliti, serta menekan secara vulgar. Toh mempelai ‘kan juga manusia.
Temanten bagaikan bintang top dan selebriti, ribuan pertanyaan disodorkan. Mulai dari memakan biaya berapa untuk menggelar hajat seperti ini? Sudahkah keduanya bekerja? Habis ini mau tinggal di mana? Sudah punya rumah belum? Sampai dengan pertanyaan, malam pertama mau pakai gaya apa? Gaya gulat atau berenang; gaya katak pun boleh. Terserah kami toh, yang pasti suamiku bisa merubuhkanku dalam keringat kenikmatan. Jangan sampai saling sekap dan saling banting sebab kita hanya punya guling, belum sempat beli ranjang. Maklum begitu sibuk di proyek (maaf…, bercanda lagi).
Hajat bersifat syukuran. Sujud syukur atas karunia dan rezeki yang Tuhan berikan. Semuanya dari tamu undangan, untuk tamu undangan, dan oleh tamu undangan. Perwujudan demokrasi sebuah pernikahan. Sekiranya aku dan calon suamiku hanya bisa mengucapkan ratusan juta miliar ribu terima kasih, jangan diambil hati. Kami juga sangat mengharapkan kehadiran seluruh tamu undangan. Karena kehadiran Bapak\i Sdr\i merupakan kebahagian bagi kami yang tak ternilai harganya (pokoknya semuanya memakai bahasa pasar).

III. Hidangan di Ranjang
Memasuki pembahasan yang ketiga adalah transaksi Aku sebagai istri dan Dia sebagai suami. Sedikit vulgar, porno, dan kehewan-hewanan. Dari mulai buruh, pembantu, tukang becak, dokter, polisi, curanrek, kontraktor, guru, pemuka agama, tentara, pegawai negeri, wiraswasta, mafia, sampai dengan orang terkaya yang memiliki ribuan SPBU. Semuanya wajib melakukan transaksi ini. Sang istri haruslah cantik, wangi, kulitnya bersih, luluran dulu sebelum bercinta, pandai memasak, disiplin mengurus manajemen keluarga, mampu mengurus anak, sampai dengan adegan terpanas di ranjang. Kalo ada yang tak dilaksanakan, maka tamatlah ceritanya. Tentunya untuk semua itu sang suami haruslah memberikan cek dalam jumlah dua juta per bulan, minimal. Kalo tidak silahkan nanti malam tidur di sofa ditemani kecoa. Untuk angka dua juta per bulan di saat seperti ini tidaklah mudah, akan tetapi demi sebuah pleasure yang lelaki dapatkan, masih terlalu murah. Harusnya lebih, minimal satu miliar per bulan. Itu baru setimpal.
Lebih indah menggunakan pemahaman manusia. Tanpa harus ditunggangi semangat dagang atau makelaran. Kita sebagai suami istri sudah seharusnya saling mengerti dan memahami. Bekerjasamalah di setiap kesempatan bukan hanya di ranjang saja. Berhati-hatilah saling menjaga perasaan, jangan sampai bertengkar gara-gara ucapan yang menyakitkan. Usahakan setiap ada kesempatan saling memberikan pujian agar pasangan kita lebih bersemangat. Masih banyak hal yang dapat dilakukan untuk membangun sebuah keluarga bahagia. Tanpa harus saling menyakiti.
Semoga nantinya kami sebagai sepasang suami-istri, mampu tak sekedar memberikan contoh akan tetapi berusaha keras untuk selalu mendidik serta menceritakan perjuangan cinta aku-dia yang indah di mata aku-dia dan Tuhan. Harapan kami berdua transaksi tersebut dapat berjalan dengan lancar dan saling menguntungkan. Segala perbedaan yang kami miliki harus berperan sebagai bunga-bunga rumah tangga. Dan menghasilkan semangat diskusi yang positif.
Semoga transaksi ini menghasilkan buah hati (anak). Doaku sebagai seorang isteri semoga dapat membahagiakan suami dan anakku. Aku tak mau anakku kurang kasih sayang, tak mengetahui siapa kedua orang tuanya hanya karena aku-dia sama-sama sibuk mencari nafkah. Tak layak kiranya aku-dia menghindari merawat anak karena badan letih dan lemah, smoga.
Bila saatnya sudah tiba aku akan dipanggil Ibu dan dia akan dipanggil Ayah. Sudah mampukah aku-dia? Sudah beranikah aku-dia? Sudah kuatkah aku-dia? Apabila jawabnya sudah, maka dekatkanlah hati aku-dia dan anakku dengan Tuhan. Biarkan keluarga ini beribadah dengan rasa cinta dan kasih sayang. Sedangkan bila jawabnya belum, kita harus mengintrospeksi ulang, mengapa kita menikah? Dengan siapa kita menikah? Untuk apa kita menikah? Dan satu pertanyaan yang sangat sakral, mengapa aku-dia ada di ranjang ini?
Jangan terlalu lama mengintrospeksi diri. Karena umur anak kita akan semakin bertambah. Ini semua bukan sekedar introspeksi atau modal materi. Akan tetapi transaksi suami-istri yang harus disepakati harganya, barangnya, ranjangnya, dan siapa pelakunya sejak awal.
Berbahagialah bagi mereka yang masih belum diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk bertransaksi di atas ranjang. Kesendirian bukan berarti kesialan, mungkin kesendirian itu juga menyenangkan. Tapi jangan sampai waktu kita habis terbuai dengan kenikmatan menjadi seorang jomblo. Karena kita telah ditakdirkan untuk hidup berpasang-pasangan (makhluk sosial).
“Dan di antara bukti-bukti kebesaran Allah, telah diciptakan istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS.Ar – Ruum 21)
Itulah sebuah fenomena yang terjadi di kehidupan kita sehari-hari. Transaksi yang terjadi di pasar dan transaksi antara pihak temanten laki-laki dengan pihak temanten wanita: Tukon Kelamin dan Hidangan di Ranjang.
Bilamana tukon kelamin benar-benar ada, alangkah baiknya jangan terlalu bersemangat untuk mendapat keuntungan banyak. Karena kita semua pada akhirnya akan menjadi satu keluarga. Sedangkan hidangan di ranjang alangkah baiknya dimaknakan sebagai sebuah hubungan simbiosis mutualistis, saling menguntungjkan satu sama lain. Mampu mendekorasi ruang kamar dengan hiasan keringat-keringat puas dan nikmat. Saling memberi dan saling menerima (take and give). Lestarikanlah hubungan yang seharusnya indah serta kehewan-hewanan ini. Hubungan yang juga mengharuskan prinsip kehati-hatian dan menuntut kita untuk mau selalu belajar dan menerima. Hindari menilai orang dari penampilan saja, siapa tahu dia adalah malaikat Utusan Tuhan. Saling menghargai adalah modal utama kelanggengan sebuah hubungan (relationship). Aku-dia sadar, bahwa aku-dia adalah anak manusia yang bertugas menjadi wayang saja. Sedangkan dalang dan sutradaraNya ada di sana dan selalu mengawasi kita. Jangan hanya berani mengkritik dan menjelek-jelekkan wayangnya saja. Sekali-kali kalau berani kritik dalangnya juga. Mempelai ‘kan juga manusia.
Selamat mencoba dan menyongsong masa depan. Burulah kenikmatan di mana saja. Yang belum resmi jangan lupa wujudkanlah cintamu dengan bahasa kondom. Sebelum menikah alangkah baiknya kita uji coba dahulu. Siapa tahu barang suami kita kualitasnya tak memuaskan (he he he…). Mempelai wanita ‘kan juga manusia.
Terimakasih.

Tidak ada komentar: